Minggu, 14 Maret 2010

Urgensi Bahasa Arab dan Ulumul Qur'an

Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa tertua yang dikenal oleh manusia dan satu-satunya bahasa yang paling berkembang dan cepat penyebarannya. Sekalipun tata bahasanya demikian lengkap namun sangat mudah dipelajari. Karakter unik yang khusus yang dimilikinya menjadikan Bahasa Arab sebagai bahasa pilihan bagi Kitab Suci yang paling mulia. Berikut kami untaikan sedikit tentang urgensi bahasa Arab dengan format tanya jawab.

Bagaimana kedudukan bahasa Arab di mata Islam, dan apakah berbicara dengan bahasa pengantar ini termasuk ashabiyah (fanatisme golongan), atau apakah bahasa Arab memiliki kedudukan yang mulia dibandingkan bahasa lain?

Bahasa adalah wasilah untuk berkomunikasi, hanya itu. Demikian pula bahasa Arab, hanyalah sebuah wasilah untuk komunikasi sosial tetapi ada satu keistimewaan tambahan yang tidak dimiliki oleh bahasa lain, yaitu nilai ibadah.

Maka berkomunikasi dengan bahasa Arab ibadah, demikian juga mempelajarinya, mengajarkannya, menelaah kitab-kitab arabiyah adalah ibadah. Sebab bertaammul (berinteraksi) dengan bahasa ini dianggap telah menghidupkan dan menjaga fondasi terpenting Islam yaitu Al-Qur’an.

Mungkin adakah sebuah penjelasan yang lebih terperinci mengapa Allah memilih bahasa Arab untuk Kitab Suci-Nya paling mulia?

Allah telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an karena bahasa Arab adalah bahasa yang terbaik yang pernah ada sebagaimana firman Allah ta’ala:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”

Ibnu katsir berkata ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2 di atas: “Yang demikian itu (bahwa Al -Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada rosul yang paling mulia (yaitu: Rasulullah), dengan bahasa yang termulia (yaitu Bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia diatas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Ramadhan), sehingga Al-Qur an menjadi sempurna dari segala sisi.” (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Surat Yusuf).

Urgensi bahasa Arab, dan kepentingan teragung dalam dalam kehidupan kita, bahwa ia adalah bahasa Al-Qur’an, bahasa pengantar Islam. Dengannya berkembanglah Islam ke seantero jagat sebagai rahmatan lilalamin.

Dalam sebuah kaidah fiqih dikatakan: “Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib.”

Maka tatkala hukum membaca Al-Qur’an wajib, menelaah Al-Hadits hukumnya wajib, mengetahui kaidah-kaidah ibadah dan aqidah hukumnya wajib dan tidak ada cara lain untuk memahami semua ini dengan apik kecuali dengan memahami terlebih dahulu bahasa Arab, akhirnya mempelajari bahasa Arab naik hukumnya menjadi wajib.

Berangkat dari sini, bahasa Arab menjadi bahasa yang paling berkesan dalam dada kaum muslimin dan menghunjam dalam iman serta ruh mereka. Bahasa Arab tidak mungkin dipisahkan dalam tarikh kegemilangan umat Islam yang akan dan terus dikenang dan diusahakan perwujudannya kembali.

Jadi hukum mempelajari bahasa Arab wajib, apakah ada ijtihad dari ulama terpercaya mengenai kesimpulan antum ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha Shirathal Mustaqim berfatwa: “Sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama dan hukum mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itu wajib dan keduanya tidaklah bisa difahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan kaidah:Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib.”

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya ketika Allah menurunkan kitab-Nya dan menjadikan Rasul-Nya sebagai penyampai risalah (Al-Kitab) dan Al-Hikmah (As-sunnah), serta menjadikan generasi awal agama ini berkomunikasi dengan bahasa Arab, maka tidak ada jalan lain dalam memahami dan mengetahui ajaran Islam kecuali dengan bahasa Arab. Oleh karena itu memahami bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Keterbiasaan berkomunikasi dengan bahasa Arab mempermudah kaum muslimin memahami agama Allah dan menegakkan syi’ar-syi’ar agama ini, serta memudahkan dalam mencontoh generasi awal dari kaum Muhajirin dan Anshar dalam keseluruhan perkara mereka.”

Jauh sebelum masa Ibnu Taimiyah, Imam Syafi’ipun memiliki istimbath (kesimpulan hukum) demikian.

Dengan kata lain Bahasa Arab merupakan pokok agama atau dikatakan; “Dienul Islam tidak akan terwujud kecuali dengan bahasa Arab”.?

Benar sekali. Ana tekankan bahwa bahasa Arab tidak hanya penting untuk berkomunikasi saja, lebih dari itu bahasa Arab ruhnya segala syiar.

Lalu apa perbedaan dengan bahasa lainnya?

Kita bisa katakan, bahasa Arab tidak akan musnah selama Dien ini tidak musnah… Bahasa ini akan tetap ada selama masih ada orang yang mengucapkan La illaha illallah.

Artinya, janji Allah ta’ala akan terjaganya Kitab-Nya juga mencakup janji terjaganya bahasa Arab?

Tepat, sebab bahasa Arab bahasa pengantar Al-Qur’an yang tersusun kalimatnya oleh susunan, kaidah-kaidah dan hukum-hukum tata bahasa Arab.

kesulitan membaca kitab, apa solusi?

Pertama perhatikan keikhlasannya, belajar hanya untuk mencari ridha-Nya saja. Kedua perhatikan istiqamahnya, dan ketiga perhatikan metode sistematika mempelajarinya setelah itu tawakal kepada Allah.

Sumber: http://alghaits.wordpress.com




Al-Quran merupakan sumber ajaran Islam yang paling utama. Al-Quran menjadi tinjauan paling pertama ketika umat dihadapkan pada berbagai persoalan yang minta untuk diselesaikan. Namun, dewasa ini, ketika komunitas muslim tertentu atau individu-individu yang dengan mengatas-namakan Agama, dengan berhujjaah pada ayat-ayat tertentu dalam al-Qur'an, melalukan tindakan-tindakan yang kemudian diketahui tidak sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri. Tindakan ini berakibat dengan adanya pen-cap-an Islam sebagai agama penyebar teror dan kekerasan. Maka, dengan demikian, metode penafsiran mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dipertanyakan kembali. Penafsiran ayat-ayat al-Quran secara sepenggal-sepenggal, tanpa menelaah asbab al-nuzul terlebih dahulu, dan berbagai kaidah-kadidah penafsiran yang tidak dijalankan, disebut-sebut menjadi sebab.


Ulumul Qur'an mengambil posisi yang tak terbantahkan dalam persoalan ini, yaitu sebagai tinjauan terhadap ilmu Qur'an yang secara lansung mempengaruhi ketetapan penafsiran.

A. Pengertian Ulumul Qur'an

Perkataan "ulumul qur'an" berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu "ulum" dan "al-Qur'an". Kata "ulum" adalah bentuk jamak dari kata "ilm" yang berarti ilmu-ilmu. "al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammd SAW untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia. Ungkapan Ulumul Qur'an telah menjadi nama bagi suatu disipiln ilmu dalam kajian Islam. Secara bahasa, ungkapan ini berarti ilmu-ilmu al-Qur'an.[1]

Kata ulum disandarkan kepada kata al-quran telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan al-Qur'an, baik dari segi keberadaanya sebagai al-Qur'an maupun dari segi sebagai pemahaman terhadap pertunjuk yang terkandung di dalalmnya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira'at, ilmu rasmil Qur'an, ilmu I'jazil Qur'an, ilmu asbabin nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan al-Qur'an menjadi bagian dari Ulumul Qur'an.[2]

Secara istilah, beberapa ulama telah merumuskan berbagai definisi Ulumul Qur'an. Al-Zarqani mengemukakan dalam bukunya, "Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulumul al-Quran Jilid I" (1988:27), seperti yang dialih bahasakan Ramli Abdul Wahid, yaitu:

"Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur'an al-Karim, dari segi turunnya, urut-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, tasfsirannya, kemukjizatannya, nasikh dan mansukhnya, penolakannya terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya".[3] Manna' al-Qaththan memberikan definisi:

"Ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur'an, dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya, pengumpulan al-Qur'an dan urutan-urutannya, pengetahuan tentang ayat-ayat Makkiah dan Madaniah, dan hal-hal lain yang ada hubungannya dengan al-Qur'an." [4]

Kedua definisi di atas pada dasarnya sama. Keduanya menunjukkan bahwa Ulumul Qur'an adalah kumpulan sejumlah pembahasan yang pada mulanya merupakan ilmu-ilmu yang berdiri sendiri. Ilmu-ilmu ini tidak keluar dari ilmu agama dan bahasa. Masing-masing menampilkan sejumlah aspek pembahasan yang dianggapnya penting. Objek pembahasanya adalah al-Qur'an.

Ada pun perbedaannya terletak pada aspek pembahasannya. Definisi pertama menampilkan sembilan aspek pembahasan, dan yang kedua menampilkan hanya lima daripadanya. Dengan demikian, definisi pertama lebih luas cakupannya dari yang kedua.

Dari kedua pengertian di atas, dapat disimpulkan, adanya dua unsur penting dalam definisi Ulumul Quran, yaitu:

1. Ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah pembahasan.

2. Kedua, pembahasan-pembahasan ini mempunyai hubungan dengan al-Qur'an, baik dari segi aspek keberadaannya sebagai al-Qur'an maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.

B. Ruang Lingkup Pembahasan Ulumul Qur'an

Dari definisi-definisi tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Ulumul Qur'an adalah suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur'an meliputi semua ilmu yang ada kaitannya dengan al-Qur'an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I'rab al-Qur'an. Ilmu-ilmu yang tersebut dalam definisi ini berupa ilmu-ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat al-Qur'an, urutan-utrutannya, pengumpulannya, penulisannya, qira'atnya, tafsirnya, kemukijizatannya, nasikh dan mansukhnya , ayat-ayat Makkiah dan Madaniah, ayat-ayat muhkamah dan mutasyabihatnya, hanyalah sebagian dari pembahasan pokok ilmu Qur'an. Di samping itu masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya seperti ilmu Gharib al-Qur'an, ilmu badai' al-Qur'an, ilmu tanasub ayat al-Qur'an, ilmu Aqsam al-Qur'an, ilmu Amtsaljidal al-Qur'an, ilmu adab tilawah al-Qur'an, dan sebagainya.[5] Bahkan sebagian ilmu ini masih dapat dipecah kepada beberapa cabang dan macam ilmu yang masing-masing mempunyai objek kajian tersendiri.

Demikian luasnya ruang lingkup kajian Ulumul Quran sehingga sebagian ulama menjadikannya luas yang tak terbatas. Al-Suyuthi memperluasnya sehingga memasukkan astronomi, ilmu ukur, kedokteran, dan sebagainya. Hal ini mungkin berkenaan, karena ada beberapa ayat al-Quran yang berbicara mengenai kajian-kajian ilmu tersebut di atas. Al-Suyuthi mengutip Abu Bakar ibn al-Arabi yang mengatakan bahwa Ulumul Qur'an terdiri dari 775 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-Qur'an mengandung makna zahir, batin, terbatas dan tak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufratnya kata-katanya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung.

[6]Ash-Shiddieqy[7] memandang segala macam pembahsan Ulumul Quran itu kembali kepada beberapa pokok persoalan saja, yaitu:

1. Persoalan Nuzul. Persoalan ini menyangkut dengan ayat-ayat yang diturunkan di Makkah yang disebut Makkiah, ayat-ayat yang diturunkan di Madinah yang disebut Madaniah, ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi berada di kampung yang disebut Hadhariah. Ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi dalam perjalanan disebut Safariah, ayat-ayat yang diturunkan pada malam hari disebut Lailiah, yang diturunkan di musim dingin disebut Syitaiah, yang diturunkan di musim panas disebut Shaifiah, dan yang diturunkan ketika Nabi di tempat tidur disebut Fisasyiah. Persoalan ini juga meliputi hal yang menyangkut sebab-sebab turunnya ayat, yang mula-mula turun, yang terakhir turun, yang berulang-ulang turun, yang turun terpisah-pisah, yang turun sekaligus, yang pernah diturunkan kepada seorang Nabi, dan yang belum pernah sama sekali.

2. Persoalan Sanad[8]. Persoalan ini meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang Mutawatir,[9] yang Ahad,[10] yang Syaz,[11] bentuk-bentuk qiraat Nabi, para periwayat dan para penghapal al-Qur'an, dan cara tahmul (penerima wahyu).

3. Persoalan ada' al-qiraan (cara membaca al-Qur'an). Hal ini menyangkut waaf (cara berhenti), ibtida' (cara memulai), imalah madd (bacaan yang dipanjangkan), takhtif hamzah (meringankan bacaan hamzah), Idgham (memasukkan bunyi huruf yang sakin kepada bunyi huruf sesudahnya).

4. Pembahasan yang menyangkut lafal al-Quran, yaitu tentang yang gharib (pelik), mu'rab (menerima perubahan akhir kata), majaz (metafora), musytarak (lafal yang mengandung lebih dari satu makna), muradif (sinonim), isti'arah (metafor), dan tasybih

5. Pesoalan makna al-Qur'an yang berhubungan dengan hukum, yaitu ayat-ayat yang bermakna ‘amm (umum) yang dimaksudkan khusus, ‘amm (umum) yang dimaksudkan Sunnah, yang nash, yang zahir, yang mujmal (bersifat global), yang mufashshal (dirinci), yang manthuq (makna yang berdasarkan pengutaraan), yang mafhum (makna yang berdasarkan pemahaman), muthlaq (tidak terbatas), yang muqayyad (terbatas), yang muhkam (kukuh, jelas), mutasyabih (samar), yang musykil (maknanya pelik), yang nasikh (menghapus) dan mansukh (dihapus), muqaddam (didahulukan), muakhkhar (dikemudiankan), ma'mul (diamalkan) pada waktu tertentu, dan yang hanya ma'mul (diamalkan) oleh seorang saja.

6. Persoalan makna al-Qur'an yang berhubungan dengan lafal, yaitu fashl (pisah), washl (berhubung), ijaz (singkat), ithnabmusawah (sama), qashr (pendek).

Demikianlah Ash-Shiddieqy memberi ruang lingkup Ulumul Qur'an. Namun, persoalan-persoalan yang dikemukakannya juga tidak keluar dari ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Pandangan ini tampaknya sejalan dengan pendapat al-Zarqani yang tidak setuju memasukkan ilmu-ilmu astronomi, kosmologi, ekonomi, kedokteran ke dalam pembahasan Ulumul Qur'an. Al-Zarqani menolak pandangan al-Suyuthi yang memandang ilmu-ilmu tersebut terakhir ini sebagai pembahasan Ulumul Quran. Al-Zarqani mengakui bahwa al-Qur'an menganjurkan agar kaum muslimin mempelajarinya dan mendalami ilmu-ilmu tersebut, terutama ketika diperlukan. Akan tetapi ilmu yang dianjurkan al-Quran untuk mempelajarinya berbeda dengan ilmu yang masalahnya atau hukumnya ditunjukkan oleh al-Qur'an dan ilmu yang mengabdi kepada al-Qur'an. Menurut dia, ilmu yang pertama tidak termasuk dalam kategori Ulumul Qur'an. Sedangkan dua terakhir jelas mempunyai hubungan dengan al-Qur'an.[12]

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya, dan yang menjadi pokok pembahasan Ulumul Quran itu adalah ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Namun, melihat kenyataan adanya ayat-ayat yang menyangkut berbagai aspek kehidupan dan tuntutan yang semakin besar kepada petunjuk al-Qur'an, maka untuk menafsirkan ayat-ayat menyangkut disiplin ilmu tertentu memerlukan pengetahuan tetnang ilmu tersebut. Penafsiran ayat-ayat kauniah[13] memerlukan pengetahuan astronomi, ayat-ayat ekonomi memerlukan ilmu ekonomi, dan ayat-ayat politik memerlukan ilmu politik, dan seterusnya.

C. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul Qur'an

Di masa Rasulullah SAW dan para sahabat, Ulumul Qur'an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul SAW. Bila mereka menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW.

Adapun mengenai kemampuan Rasul memahami al-Qur'an tentunya tidak diragukan lagi karena Dialah yang menerimanya dari Allah SWT, dan Allah mengajarinya segala sesuatu.

Ada tiga faktor yang menyebabkan Ulumul Qur'an tidak dibukukan pada masa Rasul dan sahabat, yaitu:

1. Kondisinya tidak mermbutuhkan karena kemampuan mereka yang besar dan untuk memahami al-Qur'an dan Rasul dapat menjelaskan maksudnya.

2. Para sahabat sedikit sekali yang pandai menulis.

3. Adanya larangan Rasul untuk menuliskan selain al-Qur'an.

Semuanya ini merupakan faktor yang menyebabkan tidak tertulisnya ilmu ini baik di masa Nabi maupun di zaman sahabat.[14]

Di zaman Kahlifah Ustman, wilayah Islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara penakluk Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa Arab dari bangsa Arab. Bahkan kekhawatiran akan terjadinya perpecahan di kalangan kamu Muslimin tentang bacaan al-Qur'an selama mereka tidak memiliki sebuah al-Qur'an yang menjadi standar bagi bacan mereka. Untuk menjaga agar tidak terjadinya kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-Qur'an yang disebut Mushhaf Imam. Dengan terlaksananya penyalinan ini maka berarti Ustman telah meletakkan dasar Ulumul Qur'an yang disebut Rasm al-Qur'an atau ‘Ilm al-Rasm al-Ustmani.[15]

Di masa Ali terjadi perkembangan baru dalam ilmu al-Qur'an. Karena melihat banyaknya umat Islam yang berasal dari bangsa non-Arab, kemerosotan dalam bahasa Arab, dan kesalahan pembacaan al-Qur'an, Ali menyuruh Abu al-Aswad al-Duali (w. 69 H.) untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini dilakukan untuk memelihara bahasa Arab dari pencemaran dan menjaga al-Qur'an dari keteledoran pembacanya. Tindakan Khalifah Ali ini dianggap perintis bagi lahirnya ilmu nahwu dan I'rab al-Qur'an.[16]

Setelah berakhirnya zaman Khalifah yang Empat, timbul zaman Bani Umayyah. Kegiatan para sahabat dan tabi'in terkenal dengan usaha-usaha mereka yang tertumpu pada penyebaran ilmu-ilmu al-Qur'an melalui jalan periwayatan dan pengajaran secara lisan, bukan melalui tulisan dan catatan. Kegiatan-kegiatan ini dipandang sebagai persiapan bagi masa pembukuannya.

Pada masa ini dianggap sebagai peletak batu pertama bagi apa yang disebut ilmu tafsir, asbab al-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu gharib al-Qur'an dan lainnya.[17]

Ulumul Qur'an memasuki masa pembukuannya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai Umm al-‘Ulum (induk ilmu-ilmu al-Qur'an). Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu'bah Ibn al-Hajjaj (w. 160 H.), Sufyan ibn ‘Uyaynah dan Wali' Ibn al-Jarrah.

Pada abad ke-3 lahir ilmu asbab al-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu tentang ayat Makkiah dan Madaniah, qiraat, I'rab dan istinbath

Abad ke-4 lahir ilmu gharib al-Qur'an. Abad ke-5 lahir ilmu amtsal al-Qur'an. Abad ke-6 di samping banyak ulama yang melnajutkan pengembangan ilmu-ilmu al-Qur'an yang telah ada, lahir pula ilmu mabhat al-Qur'an. Ilmu ini menerangkan lafal-lafal ql-Qur'an yang masksudnya apa dan siapa tidak jelas.

Pada Abad ke-8 muncul beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu tentang al-Qur'an. Ibn Abi al-Ishba' menulis tentang badai' al-Qur'an, yang membahas macam-macam keindahan bahasa dalam al-Qur'an. Ibn Qayyim menulis tentang aqsam al-Qur'an, yang membahas tentang sumpah-sumpah al-Quran.

Pada Abab ke-9, Jalaluddin al-Suyithi menyusun dua kitab, al-Tahbir fi ‘Ulum al-Tafsir dan al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur'an. Kedua kitab ini dianggap puncak karang-mengarang dalam Ulumul Qur'an. Setelah abad ini hampir tidak ada lagi yang mampu melampaui karyanya. Ini terjadi sebagai akibat meluasnya sifat taklid.

Sejak penghujung abab ke-13 H. sampai saat ini perhatian para ulama terhadap penyusunan kitab-kitab Ulumul Qur'an bangkit kembali. Kebangkitan ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama lainnya.

Dalam bahasa Indonesia, ada beberapa buku Ulumul qur'an yang dikarang oleh ulama Indonesia sendiri, di antaranya kitab Ilmu-ilmu al-Qur'an karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Tafsir karya Rifa'at Syauki Nawawi dan Ali Hasan, dan yang terbaru berjudul Membumikan Al-Qur'an karya ahli tafsir Indonesia M. Quraish Shihab.

(penggalian hukum dari al-Qur'an).

D. Pembagian dan Cabang-cabang Ulumul Qur'an

Ilmu-ilmu Qur'an pada dasarnya terbagi ke dalam dua kategori,[18] yaitu:

1. Ilmu Riwayah, yaitu ilmu-ilmu yang hanya dapat diketahui melalui jalan riwayat, seperti bentuk-bentuk qiraat, tempat-tempat turunnya al-Qur'an, waktu-waktu turunnya, dan sebab-sebab turunnya.

2. Ilmu Dirayah, yaitu ilmu-ilmu yang diketahui melalui perenungan, berpikir, dan penyelidikan, seperti mengetahui pengertian lafal yang gharib, makna-makna yang menyangkut hukum, penafsiran ayat-ayat yang perlu ditafsirkan.

Menurut T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, ada tujuh belas ilmu-ilmu al-Qur'an yang terpokok.[19]

1. Ilmu Mawathin al-Nuzul

Ilmu ini menerangkan tempat-tempat turun ayat, masanya, awalnya, dan akhirnya.

2. Ilmu tawarikh al-Nuzul

Ilmu ini menjelaskan masa turun ayat dan urutan turunnya satu persatu, dari permulaan sampai akhirnya serta urutan turun surah dengan sempurna.

3. Ilmu Asbab al-Nuzul

Ilmu ini menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat.

4. Ilmu Qiraat

Ilmu ini menerangkan bentuk-bentuk bacaan al-Qur'an yang telah diterima dari Rasul SAW. Ada sepuluh Qiraat yang sah dan beberapa macam pula yang tidak sah.

5. Ilmu Tajwid

Ilmu ini menerangkan cara membaca al-Qur'an dengan baik. Ilmu ini menerangkan di mana tempat memulai, berhenti, bacaan panjang dan pendek, dan sebagainya.

6. Ilmu Gharib al-Qur'an

Ilmu ini menerangkan makna kata-kata yang ganjil dan tidak terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab yang biasa atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini berarti menjelskan makna kata-kata yang pelik dan tinggi.

7. Ilmu I'rab al-Qur'an

Ilmu ini menerangkan baris kata-kata al-Qur'an dan kedudukannya dalam susunan kalimat.

8. Ilmu Wujuh wa al-Nazair

Ilmu ini menerangkan kata-kata al-Qur'an yang mengandung banyak arti dan menerangkan makna yang dimaksud pada tempat tertentu.

9. Ilmu Ma'rifah al-Muhkam wa al-Mutasyabih

Ilmu ini menjelaskan ayat-ayat yang dipandang muhkam (jelas maknanya) dan yang mutasyabihat (samar maknanya, perlu ditakwil).

10. Ilmu Nasikh wa al-Mansukh

Ilmu ini menerangkan ayat-ayat yang dianggap mansukh (yang dihapuskan) oleh sebagian mufassir[20].

11. Ilmu Badai' al-Qur'an

Ilmu ini bertujuan menampilkan keindahan-keindahan al-Qur'an dari sudut kesusastraan, keanehan-keanehan, dan ketinggian balaghahnya.

12. Ilmu I'jaz al-Qur'an

Ilmu ini menerangkan kekuatan susunan dan kandungan ayat-ayat al-Qur'an sehingga dapat membungkam para sastrawan Arab.

13. Ilmu Tanasub Ayat al-Qur'an

Ilmu ini menerangkan persesuaian dan keserasian antara suatu ayat dan ayat yang di depan dan yang di belakangnya.

14. Ilmu Aqsam al-Qur'an

Ilmu ini menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah Tuhan yang terdapat dalam al-Qur'an.

15. Ilmu Amtsal al-Qur'an

Ilmu ini menerangkan maskud perumpamaan-perumpamaan yang dikemukan al-Qur'an.

16. Ilmu Jidal al-Qur'an

Ilmu ini membahas bentuk-bentuk dan cara-cara debat dan bantahan al-Qur'an yang dihadapkan kepada kamu Musyrik yang tidak bersedia menerima kebenaran dari Tuhan.

17. Ilmu Adab Tilawah al-Qur'an

Ilmu ini memaparkan tata-cara dan kesopanan yang harus diikuti ketika membaca al-Qur'an.


Ramli Abdul Wahid menambahkan ilmu tafsir sebagai bagian dari Ulumul Qur'an[21]. Ilmu tafsir berfungsi sebagai alat untuk mengungkap isi dan pesan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an. Menurunya, Ulumul Qur'an lebih umum dari ilmu tafsir karena ulumul Qur'an ialah segala ilmu-ilmu yang mempunyai hubungan dengan al-Qur'an. Ilmu tafsir tidak kurang penting dari ilmu-ilmu tersebut di atas, terutama setelah berkembang dengan menampilkan berbagai metodologi, corak, dan alirannya.

Ulumul Qur'an merupakan kumpulan berbagai ilmu yang berhubungan dengan al-Quran. Pada dasarnya, ilmu-ilmu ini adalah ilmu agama dan bahasa Arab. Namun, menyangkut ayat-ayat tertentu seperti ayat-ayat kauniah dan perjalanan bulan dan bintang diperlukan pengetahuan kosmologi[22] dan astronomi. Karena itu, ilmu ini mempunyai ruang lingkup yang luas dan dalam sejarahnya selalu mengalami perkembangan.

Pintu ilmu ini selalu terbuka kepada setiap ulama yang datang kemudian untuk memasuki persoalan-persoalan yang belum terjamah para ulama terdahulu karena faktor-faktor tertentu.

Dengan ilmu ini seseorang akan dapat menunjukkan dan mempertahankan kesucian dan kebenaran al-Qur'an. Betapa pentingnya ilmu ini sehingga Al-Zarqani memberikan perumpamaan Ulumul Qur'an sebagai anak kunci bagi para mufassir.








[1] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran, Grafindo, Jakarta, 1996, hal. 7.

[2] Ibid, hal. 7-8.

[3] Ibid, hal 8.

[4] Ibid, hal 9

[5] Ibid, hal. 10

[6] Muhammad Abd al-Azim al-Zarqani, op. cit Hal. 23

[7] Hasbi TM Ash-Ahiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 197, hal 103-104.

[8] Sanad secara bahasa berarti sandaran. Dalam istilah ilmu hadits, sanad berarti rangkaian para periwayat hadits dari Nabi sampai kepada Penulis atau pengumpulnya.

[9] Mutawatir berarti berita yang diriwayatkan oleh orang-orang yang jumlah mereka membuat tidak masuk akal bila dikatakan bahwa mereka sepakat untuk mengada-adakan berita itu. Mereka ini menerima berita tersebut dari sejumlah orang yang keadaanya sama dengan mereka, dan begitulah jalan periwayatnya sampai sumber pertama, yaitu Nabi.

[10] Ahad berarti berita yang diriwayatkan oleh satu orang periwayat atau lebih tetapi jumlahnya tidak sampai mencapai jumlah periwayat yang mutawatir.

[11] Syaz secara bahasa berarti aneh atau asing. Dalam istilah ilmu hadts berarti hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang terpercaya, tetapi riwayatnya menyalahi riwayat orang banyak yang terpercaya. Namun dalam ilmu Qiraat, syaz berarti qiraat yang sanadnya tidak sahih.

[12] Ramli Abdul Wahid, MA., op. cit,,, hal. 15

[13] Kauniah, ayat-ayat yang bersifat ilmu.

[14] al-Shahih, Shubhi, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur'an, Dar altlm li al-Malayin, Beirut, 1977, hal. 120.

[15] Al-Zarqani, op. cit., hal 30.

[16] Ibid

[17] Ramli Abdul Wahid, op. cit., hal. 17.

[18] Ramli Abdul Wahid, op. cit., hal 23.

[19] T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur'an/ tafsir, op. cit., hal 105-106.

[20] Mufassir, orang yang melakukan penafsiran terhadap teks al-Qur'an

[21] ramil Abdul Wahid, op. cit., hal 27.

[22] Kosmologi, Ilmu jagat raya, ilmu langit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar