Minggu, 28 Maret 2010

Teologi Islam (Kalam)

Kelahiran ilmu teologi Islam (kalam) tidak dapat dipisahkan dari pengaruh kuat filsafat Yunani, terutama ketika pada masa kekhalifahan Abbasiah. Lebih-lebih pada masa pemerintahan al-Makmun (penguasa Abbasiah ketujuh) ia dikenal mempunyai perhatian besar pada perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu filsafat. Ia sangat mengagumi karya-karya intelektual Yunani dan memerintahkan agar karya-karya itu diterjemahkan kedalam bahasa arab.-yang pusat studinya ketika itu di Dar alHikmah, Bagdad.

Bisa di mengerti kiranya jika pada masa itu perkanalan para ilmuwan muslim dengan alam pemikiran Yunani makin meluas dan mendalam, yang pada akhirnya akan menimbulkan perhatian dan hasrat di kalangan ilmuan muslim untuk mempelajari filsafat. Kemudian lahirlah gerakan pemikiran bebas (liberal) karena adanya tasamuh (toleransi) dari khalifah.
Kebebasan berpikir dan pengungkapan nalar rasional merupakan medium hujjah ketika itu. Sehingga nalar rasional sebagai asas dasar kefilsafatan mempunyai peranan fital tanpa batas sebagai preferensi oleh kebanyakan intelektual. Al-matthar bin Tahir adalah salah satu contoh dari adanya pengaruh besar dari peradaban filsafat Yunani ini. Dia tidak bisa menyembunyikan kepuasannya pada saat ia bisa merasionalkan salah satu kemukjizatan dengan dalil nalar rasionalnya.-yang ia anggap nalar rasional adalah sebagai pokok dari segala ilmu- ketika ia mampu mengungkapkan alasan rasional kepada orang-orang yang mengingkari hadits, tentang keterangkatan nabi idris kelangit, hal tersebut bukanlah suatu kemustahilan, atau bumi yang beratnya sedemikian rupa terangkat (mengawang-awang) walaupun tanpa tiang penyangga. Dan begitu juga pada saat ia mampu merasionalkan kepada orang-orang yang mengingkari kisah nabi Yunus berikut kemungkinan adanya sebuah jasad yang hidup di dalam perut seekor hewan -di mana hal yang demikian itu di alami oleh nabi Yunus- dengan beralasan “bukankah sebuah janin bisa hidup di dalam perut ibunya dengan bisa bernafas? bukankah hal itu bisa juga terdapat pada sebuah jasad yang berada dalam perut seekor hewan,seperti yang dialami nabi Yunus ketika ia di lemparkan ke tengah laut karna kesilapannya kepada Allah kemudian ditelan hidup-hidup dan keluar dari perut ikan dengan keadaan utuh pula.
Dengan berfilsafat yang penekanannya bertendensi kepada nalar rasional dengan tanpa batas (liberal) serta adanya tasamuh atau toleransi penuh dari khalifah maka bermunculanlah teolog-teolog muslim mutakallimin) yang titik penekanannya kepada pencarian rasionalisasi tentang hakikat kebenaran Tuhan, dzat Tuhan, dan sifat-sifatnya. Sehinnga pada masa puncak perkembangannya sampai kepada pengakuan yang benar-benar mengguncang dan menggemparkan bumi Islam< dimana al-qur`an tidak lagi di anggap sebagai kalam Allah yang kadim, akan tetapi di katakan sebagai makhluk ciptaan-Nya yang pada suatu saat nanti akan lenyap dan sirna. Serta kepada sebuah pengakuan bahwa besok pada hari kiamat nanti Allah tidak akan bisa di lihat oleh mata telanjang.
Pada masa awal-awal kemunculan Islam. Islam jauh atau terhindar dari hal-hal yang semacam ini dalam artian masih tabu terhadap penalaran rasional akal.
Perkembangan Islam tertolong oleh jauhnya kaum muslimin dari nalar rasional kritis terhadap teks-teks kitab sucinya. Dengan bertendensi kepada perkataan Nabi ketika sebagian para sahabat mempertanyakan keesensialan faham teologi al-Qur`an dengan sabdanya “kaum mana! Dengan sebab semacam ini- (mempertanyakan), ummat sebelum kalian di binasakan. Al-qur`an di turunkan bukan untuk membuat kalian bertentangan dengan isi sebagian dengan sebagian yang lainnya. Akan tetapi ia menguatkan isi sebagian dengan sebagian yang lainnya. maka apa yang kalian ketahahui dari al-Qur`an amalkanlah, dan apa yang samar-samar (tasyabuh) dari al-Qur`an atas kalian maka imanilah oleh kalian.
Dengan dalil sebagai muslim yang jujur dan patuh, maka meredalah pergolakan semacam ini dan mengambil rasa ketenangan dengan apa yang di perkatakan oleh nabi. (al-akidah wasy syariah fil Islam;70)
Pada perkembangan selanjutnya, sebagaimana filsafat yang penekanannya bertendensi kepada nalar rasional tanpa batas, maka para teolog muslim (mutakallimin) memandang terhadap segala sesuatu dan ingin mengetahui apa saja yang ada di balik itu semua. Dengan bersandar kepada akal rasionalnya, banyak dari para teolog muslim mengingkari tentang adanya sihir dengan segala berbagai macam bentuknya dan berbagai perbintangan. Bahkan mereka mengingkari adanya kekaromatan para kekasih allah (awliya il-lah). (Al-hadloroh al-Islamiyah;375. juz.1)
Dalam periode ini (kekhalifahan Abbasiah), obrolan serta diskusi-diskusi ringan ramai dimana-mana, mulai dari pinggiran-pinggiran kota, kedai-kedai, hingga ke istana Negara. Diskusi-diskusi serta obrolan-obrolan ringan ini tergelar secara umum dan berani. Imbasnya, keraguan akan keimanan atas ke Maha Absolutan Tuhan dan keagungan ajaran Islam menjangkit dimana-mana, terutama di kalangan orang-orang yang penguasaan ilmu agamanya masih dangkal. Lebih-lebih bagi kalangan orang-orang awam. Yang tidak mengerti betul akan bahasa arab serta lemahnya pemahaman terhadap lafadz-lafadz al-Qur`an dan kandungan maknanya.
Dari sini kiranya bisa dipahami, jika pergolakan akidah ketika itu lepas tak terkendali, lepas melesat bagai kuda-kuda kesetanan yang merobohkan kandangnya sendiri dan pergi tak tentu arah.
Para kalangan ulama salaf memandang bahwa al-Qur`an dan Sunnah Rasulnya telah lengkap dan cukup sebagai petunjuk jalan kebenaran, dan barang siapa yang mencari petunjuk selain dari keduanya maka ia akan menemui kesesatan.
Seperti apa yang dikatakan oleh as Suyuti; bahwa para kalangan sahabat dan tabi`in tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah kefilsafatan karna hal yang semacam ini tidak di kenal pada zaman mereka. Kefilsafatan ini di kenal pada masa abad ke dua dari hijriah (al-Aqidah bainal Wahyi wal Filsafah wal Ilm;234). Filsafat ini merupakan pondasi dasar yang menandai kelahiran teologi keIslaman.
Di riwayatkan dari asy-Syu`bi bahwasanya ia berkata; barang siapa yang mencari agama dengan jalan ilmu kalam (teologi) maka ia telah zindiq. Dan diriwayatkan sama seperti ini juga dari Abi Yusuf dan Malik bin Anas. (al-Aqidah baina alwahyu wal-filsafah wal-ilm; 245)


Maka seorang ahli hadits mengirimkan berita tentang hasil diskusi kepada khalifah Harun ar Rasyid. Maka muka Harun ar Rasyid merah padam dikuasai oleh kemarahan, kemudian ia berkata: lalu, untuk agama ini siapakah yang akan menjadi pembelanya?!. Maka ahli hadits berkata kepada Harun ar Rasyid; para ulama ilmu kalam (teologi) yang telah engkau tangkap dan engkau masukkan mereka kepenjara dan engkau larang mereka untuk berjadal (diskusi). Khalifah Harun ar Rasyid kemudian membebaskan mereka dan menyebarkan mereka ke penjuru bumi Islam, sebagai benteng dan pembela akidah ummat ini.
Dari sini bisa di lihat, bahwa sesungguhnya ilmu teologi (kalam)itu tiada lain untuk memurnikan Allah semata dan melepaskan prasangka-prasangka yang tidak layak bagi-Nya. Dan sebagai wasilah untuk menandingi dan mencegah segala bentuk ancaman yang mengada-ada (bid`ah) di kehidupan yang fana ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar